Wednesday, May 23, 2012

Ngompol yuk

Biasanya saya menulis bahasan politik di blog saya yang lain. Tetapi kali ini saya (memberanikan diri untuk) menulisnya di blog ini. Saya usahakan se-bermakna mungkin deh (apaan sih?). Tulisan ini sebagai sebuah pengingat, pekan ini, 14 tahun yang lalu (21 Mei 1998), Presiden Soeharto menyatakan diri untuk berhenti dari jabatan presiden. Apakah yang sudah kita capai? Mengapa kita justru merasakan negara yang carut-marut? Maka dari itu di sini akan saya coba tulis beberapa catatan saya perihal hal ini berdasarkan pemikiran para pengamat di luar sana.

Tulisan ini terinspirasi oleh dialog Metro TV beberapa hari yang lalu dengan judul Reformasi Sudah Basi.

Memang kata reformasi, tidak lagi kita rasakan dampak konkretnya. Dulu media cukup gencar meneriakkan istilah KKN, sekarang pun Korupsi tetap merajalela. Tetapi ada satu hal yang perlu kita sadari. Dahulu, istilah KKN adalah monopoli kalangan elit. Bagi masyarakat, KKN adalah sebuah ketakutan baru yang jangan sampai terjadi di masa mendatang, karena telah terbukti menyengsarakan rakyat. Sayangnya, ketakutan itu menjadi kenyataan. Kini, korupsi tidak lagi berpusat di daerah ibukota. Adanya sistem otonomi daerah, justru malah semakin menyebarkan potensi korupsi ke seluruh penjuru tanah air. Dahulu korupsi hanya "diwacanakan" saja siapa2 pelakunya, kini pelaku2-nya sudah banyak yang tertangkap tangan dengan adanya KPK. Tinggal, bagaimana membuat orang2 yang belum tertangkap untuk segera bertobat agar tidak mengikuti jejak2 para pendahulunya ini.

Kini saya beralih ke masalah sistem politik. Sistem presidensial: yang sampai detik ini belum kita temukan formula yang pas antara sistem ini dengan sistem otonomi daerah. Berpusat di presiden, tetapi ada kewenangan yang desentralistik. Mungkin, negara berjalan seakan-akan dalam modus auto pilot akibat dari hal ini. Presiden Soekarno pun pada masanya terkesan bingung untuk menentukan sistem yang pas untuk negara kita ini, sehingga pada masa "coba2" saat itu kita kenal beberapa istilah seperti UUD-RIS, dll.

Kini, saya ungkapkan salah satu permasalahan utamanya: DPR. Lembaga yang punya kewenangan sebagai legislator ini belum mampu melaksanakan tugasnya secara optimal sesuai dengan cita2 para pendiri bangsa. Para ahli2 hukum sering sekali mengkritisi produk undang2 DPR akhir2 ini. Salah satu alasannya karena, draft UU yang tadinya sudah digarap secara akademik oleh berbagai pihak, termasuk para ahli2 hukum, belakangan diutak-atik agar sesuai dengan kepentingan beberapa kelompok semata. Ambil satu contoh saja: UU Parpol yang di dalamnya membahas tentang parliamentary threshold (entah tulisan benernya gimana). Seandainya saja, kepentingan2 yang "tidak penting" ini tidak mempengaruhi produk perundang2-an di negeri kita ini, mungkin carut-marut negeri ini akan sedikit terobati. Jika fenomena ini terus berlanjut: hapus saja kewenangan DPR untuk membahas RUU!

Poin penting kedua, beberapa tahun reformasi belakangan ini sesungguhnya kita punya hal2 yang penting namun terlupakan, yaitu Tap MPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tap MPR, seharusnya menjadi pedoman utama dalam menjalankan roda pemerintahan, namun belakangan (sepengetahuan saya) aturan hukum ini "didegradasi" dari posisinya semula. Bagaimana dengan DPD? Lembaga ini seharusnya setara dengan DPR, termasuk dalam hal membahas UU. Namun sampai tahun ini, hanya kantornya saja yang satu atap, tetapi kewenangannya belum diatur secara tegas dan benar.

Membahas tentang peran DPR, saya sering melihat di televisi dengan istilah senator di Amerika sono. Beberapa anggota DPD setahu saya menggunakan istilah ini juga, berbeda dengan DPR yang lebih banyak menggunakan istilah Anggota Dewan. Namun ini bukan hal yang penting. Istilah yang menurut saya penting adalah Petisi. Di Amerika sono, terdapat mekanisme di mana rakyat dapat mengajukan surat untuk mendorong atau membatalkan suatu RUU. Saya sering melihat Oprah Winfrey Show, dan kadang2 pada masalah2 tertentu sampai ada bentuk ajakan untuk mengajukan Petisi semacam ini. Di sini saya menilai, dengan semakin meningkatknya rerata pendidikan rakyat Indonesia, budaya menulis sebagai bentuk protes ini adalah suatu hal yang sangat positif. Tidak adanya saluran aspirasi semacam ini menyebabkan banyaknya demonstrasi2 oleh masyarakat, yang ujung2-nya berpotensi anarkis dan merusak. Bagaimanapun saya menyadari bahwa di Amerika sono mereka menggunakan sistem parlementer, belum lagi mereka menggunakan sistem Negara Serikat. Namun hal2 yang positif, saya pikir masih bisa diadaptasi untuk sistem perpolitikan di Indonesia. Sebenernya, justru sistem ini yang menurut saya sesuai untuk Indonesia, karena senada dengan bunyi sila ke-4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sila ini saya tafsirkan bahwa sistem perwakilan yang lebih sederhana adalah sebuah keniscayaan, tidak seperti sistem kepartaian yang ada di negara kita saat ini. Di Amerika sono, antara senator dan RUU yang dibahas memiliki hubungan yang sederhana (setahu saya). Jadi ini merupakan hal positif lainnya.

Pernah dibahas juga (seingat saya oleh Anggota Wantimpres, Pak Ryaas Rasyid) bahwa terdapat sistem evaluasi kepala negara dan kepala daerah setiap 1 tahun. Dan tidak pernah berjalan, atau malah sudah dicabut? Saya kurang paham pasal apa dan di mana yang membahas hal ini. Tetapi ini juga merupakan satu poin solusi yang cukup penting. Kalo sistem ini berlaku, kita kan tidak perlu menunggu sampai pemilu berikutnya untuk mentoleransi inefektifitas kepemimpinan seperti yang terjadi pada kepemimpinan SBY-Budiono saat ini?

Hal positif lainnya adalah MPR dengan kampanyenya tentang 4 pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut saya, inilah satu2-nya senjata untuk menangkal radikalisme-anarkisme (khususnya yang bersifat politik) di Indonesia. Sayangnya, keempat pilar ini belum menjadi suatu hal yang sederhana dan konkret. Beberapa pihak menyebutnya sebagai nilai keindonesiaan, yang mana saat ini dalam kondisi hilang, dan hanya sedikit pihak yang berusaha menemukannya kembali.

Poin terakhir mungkin adalah masalah partai versus independen. Untuk poin yang ini saya tidak bisa berkomentar banyak. Satu hal yang pasti, selama partai tidak mempatenkan sistem konvensi di dalam tubuh mereka, jalur independen akan menjadi satu2-nya jalan untuk memunculkan calon pemimpin yang lebih berkualitas.

Harapan saya tentang tulisan saya (yang panjang dan sudah pasti membuat bingung) ini adalah bahwa kita masih punya begitu banyak potensi, amunisi, dan peluang untuk menuju ke arah yang lebih baik dalam hal bernegara. Apakah kita mau terus2-an tinggal diam dan mentoleransi ketidakberesan yang ada di sekitar kita?

Malang, 23 Mei 2012.

No comments:

Post a Comment